Minggu, 11 Juli 2010

SATU POTRET PENDIDIKAN KITA

Tulisan ini dibuat sebagai rasa empati penulis kepada sahabat Budi Utomo yang saat diturunkan tulisan ini sedang masgul karena haknya untuk mendapat pendidikan bagi anak-anaknya memiliki permasalahan, yang keluhannya dimuat dan disampaikan di jejaring facebook.Kalau berkenan mohon diberikan tanggapan dan komentar.

Ada tujuan pendidikan yang melenceng, ada paradigma sekolah yang berubah, dan ada sejarah pengajaran yang bergeser.

Sering dalam forum2 rapat saya mempertanyakan kembali apa sebenarnya tujuan utama sekolah sehubungan dengan kewajiban pemerintah? Benarkah kalau saya mengatakan sekolah bertujuan mencerdaskan generasi bangsa? Benarkah pemerintah berkewajiban memberikan pendidikan kepada calon penerus bangsa? Benarkah sekolah yang didirikan oleh pemerintah, yang dibiayai oleh pemerintah, dan yang "semua" kebutuhan pembelajaran di sekolah dipenuhi oleh pemerintah, adalah untuk mempersiapkan pemimpin bangsa yang akan datang?

Lalu siapa mengenyam pendidikan yang dibiayai oleh pemerintah? Dan siapa sebenarnya yang lebih berhak menikmati fasilitas yang disediakan oleh pemerintah? Orang mampu atau yang tidak mampu? Jawabnya : Semestinya adalah orang yang pertama.

Tapi coba lihat, siapa yang menghuni sekolah-sekolah negeri yang dibiayai "sepenuhnya" oleh pemerintah? Lihat dengan cermat, mulai dari SDN, SMP/MTsN, SMA/MAN, SMKN/MAKN, hampir semua semua sekolah-sekolah negeri adalah anak-anak yang tergolong mampu. Hitung berapa persenkah sodara2 kita yang tidak mampu?

Memang secara terbuka dan transparan "tidak dibedakan siswa mampu dan tidak mampu" di sekolah negeri. Mereka semua dilayani ketika menjadi peserta seleksi PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru). Semua harus memenuhi persyaratan dan biaya yang sama. Mereka bersaing secara bebas dengan perangkat persaingan yang sama. Dan hasil seleksi diumumkan secara terbuka dan transparan juga. Namun pertanyaannya, mampukah mereka bersaing secara bebas tersebut?

Mereka jelas tidak mampu. Memang satu dua di antara mereka, dengan persentase yang "sangat kecil" bisa meraih sekolah negeri yang menjadi "favorit" di negeri kita. Tapi untuk mengawal mereka sampai ke kelas tiga pun sangat terseyok-seyok.

Seorang teman di Dinas Pendidikan yg mulia mencibir, "Lho salahnya sendiri tidak masuk ke negeri?". (Sama persis, ketika membicarakan kesejahteraan guru, seorang guru DPK mengatakan dengan penuh bangganya, salahnya sendiri tidaj jadi guru pegawai negeri.

Permasalahannya bukan mau atau tidak mau, bisa atau tidak bisa, di "negeri". Tapi proses menuju ke sana mesti melalui sebab. Mari kita renungkan. Sekolah negeri dibiayai penuh oleh pemerintah, mulai dari pembangunan gedungnya, isi ruang belajarnya, fasilitasnya, biaya operasionalnya, sampai gaji atau honor guru-gurunya. kenyataan ini menjadikan biaya pendidikan oleh siswa sebagai peserta didik di sekolah negeri menjadi murah, bahkan di SD dan SMP nol rupiah (tapi itu dulu,dan di ndeso, sekarang bahkan beberapa sekolah terutama yang berlabel RSBI, jauuuuuh lebih mahal dari swasta. Wacana "murah" inilah yang menyihir orang tua murid memaksa agar bisa sekolah di sekolah negeri. Dan kelanjutannya gampang ditebak, sekolah negeri peminatnya banya, persaingannya ketat, dan jadilah favorit. Dan pemetik persaingan seleksi tersebut dimenangkan oleh anak-anak orang mampu.

Sementara anak-nak kita yang tegolong tidak mampu ikut bersaing dengan kondisi yang berbeda. Mereka berguguran. Jarang yang diterima. Bagaimana tidak? Mereka tidak memiliki kondisi yang sama waktu belajar, mereka tidak memiliki fasilitas yang sama, karena kekurangannya. Otomatis sangat mempengaruhi intelektual mereka dan daya saing kita. Sehingga akhirnya, sekolah-sekolah negeri didiami oleh pelajar yang latar belakang orang tuanya mampu. Sebaliknya saudara-saudara kita yang tidak mampu harus mau menerima kegagalannya untuk kemudian mendaftar ke sekolah-sekolah swasta. Sehingga sekolah negeri yang semestinya bisa menolong anak-anak tidak mampu, karena fasilitasnya dicukupi oleh pemerintah, menjadi lembaga yang dinikmati oleh orang mampu. Sebaliknya, anak-anak orang mampu semestinya banyak yang bersekolah di Lembaga pendidikan swasta, karena bisa mandiri membiayai proses kegiatan belajar mengajar.

Oleh karena itu penulis berpikir, sudah semstinya kita berubah. Sampai kapan compang-camping permasalahan ini berkesudahan kalau pemilik negeri ini tidak segera memikirkan dan berbuat.