Jumat, 08 Oktober 2010

QUO VADIS GURU SWASTA

Disari dari tulisan Kecelakaan-kecelakaan di Lintasan Sejarah Guru Swasta
(http://masedlolur.wordpress.com/2010/01/05/kecelakaan-kecelakaan-di-lintasan-sejarah-guru-swasta-kecelakaan-kedua/)


Ketika hampir seluruh guru swasta berfokus pada perjuangan menggugat PP 48/2005, program sertifikasi guru diluncurkan mulai tahun 2006. Di awal pelaksanaannya program ini sama sekali tidak menyentuh guru swasta. Tapi, mereka SEMUA diam.

Upaya pemerintah, dalam program sertifikasi guru itu sebenarnya terkait dengan upaya meningkatkan kesejahteraan guru yang merupakan komitmen politik para politikus merebut hati pemilih. Sampai pada finalnya, presiden pertama yang terpilih melalui lembaga perwakilan rakyat yang reformis demokratis, yaitu KH Abdurrahman Wahid, mencanangkan renumeralisasi gaji PNS dan merekomendasikan untuk mengusahakan Gaji Guru 6x Lipat. Tidak terkecuali, siapapun yang namanya guru berhak mendapatkannya. Namun melalui Peluncuran UU Guru dan Dosen disetujui dan diatur guru hanya menerima hak separuh dari apa yang diinginkan Gus Dur sebagai bagian mengangkat kesejahteraan guru untuk menuju Pendidikan yang Berkualitas di Indonesia. Meski demikian masih disiasati dengan memilih-milih guru penerima kesejahteraan melalui Sertifikasi Guru dengan penilaian dokumen portofolio keprofesiannya, Inipun masih ada diskriminasi dalam memberikan kesempatan untuk memperolehnya. Nampak sekali pada ketidakdisamaan kuota bagi guru swasta maupun guru PNS. Sama sekali tidak adil.

Sampai dengan kuota tahun 2009 pun porsi kepesertaan guru swasta hanya diberikan maksimal 25% dari seluruh peserta. Dan dari kacamata tunjangan profesi pendidik yang bakal mereka terima lewat rekening bank setelah lulus sertifikasi guru itu, maka pembagian lembaran-lembaran peningkatan kesejahteraan justru banyak disebarkan ke guru PNS, yang notabene sudah lebih dahulu memiliki rata-rata penghasilan jauh di atas guru swasta. Bahkan hasil deskriminasi itu, bagi guru swasta yang telah lulus sertifikasi dan menjadi penerima Tunjangan Profesional Guru, harus gigit jari karena mereka tidak menerima tunjangan yang sesuai dengan golongan, dan harus impassing, yang hasilnya harap-harap cemas dan putus asa.

Tetapi, guru swasta tidak melihat diskriminasi tersebut, karena mereka masih terus diselimuti kegelapan, dan tetap menganggap perjuangan ke arah permintaan penambahan kuota kepesertaan sertifikasi guru dalam jabatan itu kurang urgen dibandingkan porsi lainnya yang lebih menjanjikan, menjadi CPNS. Sehingga gugatan atas PP 48/2005 lebih diutamakan, meskipun keberhasilannya sangat sulit dibayangkan

Meskipun demikian, guru swasta cukup banyak berbuat. Melalui beberapa kali Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Guru Swasta digelar di Yogya. Yang diikuti elemen-elemen persatuan guru menghasilkan kesepakatan nasional melahirkan PGKSI (Persatuan Guru dan Karyawan Swasta Indonesia, IGPSS (Ikatan Guru dan Pegawai Sekolah Swasta). Terakhir kali pada tahun 2009 sama terbentuk Presidium Guru Indonesia (PGI).

Sebagai tindak lanjut dari kegiatan tersebut, tidak mengherankan jika guru swasta juga melakukan serangkaian aksi, tidak hanya unjukrasa, atau mogok mengajar, tetapi juga tuntutan melalui jalur hukum., dan beraudiensi dengan DPR RI menyoal RPP terbaru tentang Seleksi Tenaga Honorer untuk Diangkat Menjadi CPNS, yang bakal menggantikan PP 48/2005 dan perubahannya di PP 43/2007. Untuk itu, sederet usulan revisi terhadap RPP terbaru itu telah disiapkan dan dimatangkan

Namun, perjuangan guru swasta hampir boleh dikatakan mengalami kegagalan seperti usaha terhadap PP 48/2005, mengapa?

Jawabnya adalah : GURU SWASTA MASIH TERPECAH-PECAH DALAM BERORGANISASI, MASIH SEPERTI ANAK TK YANG BERMAIN-MAIN SENDIRI DENGAN KELOMPOKNYA, SEHINGGA PERJUANGAN MENJADI LEMAH, DAN MUDAH DITEKAN PENGUASA. BERAPA ORGANISASI GURU SWASTA YANG ADA ? MENGAPA TIDAK MAU BERSATU DAN BERINDUK, DENGAN SATU NAMA, PERSATUAN GURU DAN KARYAWAN INDONESIA, ATAU APAPUN NAMANYA !

Akan kemana Guru dan Karyawan Swasta ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar